Biasanya jika kita ingin melihat hewan purba maka kita hanya akan melihatnya dalam bentuk fosil karena hewan purba itu sudah punah jutaan tahun yang lalu. Tapi ternyata diantara hewan purba itu masih bisa ditemukan beberapa hewan purba yang masih hidup di bumi ini termasuk di wilayah Indonesia. Hewan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada itu bisa disebut fosil hidup. Fosil hidup adalah sebutan bagi hewan atau tumbuhan yang dianggap sudah punah dan menjadi fosil, tetapi pada kenyataannya masih hidup. Sebutan ini dapat pula dikenakan bagi hewan/tumbuhan yang diketahui telah ada jutaan tahun lalu dengan bentuk yang tidak mengalami banyak perubahan dengan peninggalan fosilnya.
Beberapa fosil hidup hewan purba yang bisa ditemukan di Indonesia diantaranya adalah:
Komodo
Komodo merupakan spesies reptil purba endemik yang hidup semenjak zaman purba. Evolusi komodo dimulai dengan genus Varanus yang mulai berkembang di Asia antara 40-25 juta tahun yang lalu. Komodo adalah kerabat dekat dari dinosaurus. Hal ini dilihat dari ditemukannya fosil-fosil dari jenis dinosaurus tertentu yang menunjukkan kemiripan struktur tubuh dengan komodo. Dinosaurus sudah lama punah tetapi Komodo sampai sekarang masih ada. Komodo disebut sebagai Dinosaurus terakhir di dunia. Hewan satu masa dengan dinosaurus ini dikenal sebagai kadal karnivora namun mereka juga hewan kanibal karena kadang mereka memangsa anak-anak mereka. Komodo (Varanus komodoensis) adalah jenis kadal terbesar. Tercatat Komodo terbesar yang pernah ada memiliki panjang 3,13 meter dan berat 166 kilogram. Komodo dapat ditemukan di Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil di sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Habitat asli Komodo hanya bisa ditemukan di kepulauan Indonesia ini dan tidak ada di belahan dunia lain.
Penyu Belimbing
Penyu belimbing atau Dermochelys Coriacea disebut telah mendiami Bumi semenjak 100 juta tahun silam semasa dinosaurus merajai planet bumi. Penyu belimbing adalah jenis penyu terbesar. Berat penyu belimbing bisa mencapai 900 kg, dengan panjang badan sekitar satu setengah hingga dua meter. Tidak seperti penyu lainnya, penyu belimbing tidak memiliki karapas keras. Karapasnya seperti sebuah mosaik dari tulang-tulang kecil yang keras, kulitnya elastis dengan punggung membujur. Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan kawasan sub kutub dan biasa bertelur di pantai-pantai di kawasan tropis. Penyu belimbing hanya makan ubur-ubur, dan hanya ada sedikit tempat di dunia yang dipilihnya untuk bertelur. Salah satu tempat bertelurnya ada di Pantai Jamursba Medi dan Warmon terletak di Utara Kepala Burung Provinsi Papua Barat, Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw. Penyu belimbing mempunyai kebiasaan berkeliling dunia menjelajahi berbagai wilayah di belahan bumi ini.
Ikan Coelacanth
Ikan Coelacanth diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam, hingga kini bentuknya tidak berubah. Coelacanth adalah ikan purba yang berasal dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Sebelumnya, ikan tersebut sempat diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun lalu. Tapi kemudian ternyata ikan ini ditemukan masih hidup. Ikan ini hanya hidup di perairan Afrika Selatan bagian barat dan perairan Indonesia timur masing-masing disebut Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis. Di Indonesia ikan purba Coelacanth dapat ditemukan di perairan Talise, Minahasa Utara dan perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Habitat ikan Coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius. Di Indonesia, khususnya di sekitar perairan Manado dan Minahasa Utara, spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut.
Ikan Arwana
Ikan Arwana merupakan salah satu ikan purba yang belum punah. Studi genetik dan temuan fosil menunjukkan, ikan ini setidaknya telah hidup di bumi sejak 220 juta tahun yang lalu. Arwana termasuk ikan karnivor yang mendiami habitat sungai dan danau berair tenang. Ikan ini dapat ditemukan di Amazon, dan di beberapa bagian Afrika, Asia dan Australia. Ikan arwana (Scleropagus sp.) bisa ditemukan di perairan tawar Indonesia. Salah satu jenis Arwana adalah arwana super red yang merupakan ikan asli hulu Sungai Kapuas dan Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Perairan ini merupakan wilayah hutan gambut yang menciptakan lingkungan primitif bagi ikan purba tersebut.
Buaya Muara
Buaya merupakan salah satu hewan purba yang tersisa di bumi ini. Buaya muara atau buaya bekatak (Crocodylus porosus) adalah salah satu spesies buaya terbesar di dunia, jauh lebih besar dari Buaya Nil (Crocodylus niloticus) dan Alligator Amerika (Alligator mississipiensis). Panjang tubuh termasuk ekor bisa mencapai 12 meter seperti yang pernah ditemukan di Sangatta, Kalimantan Timur. Buaya masih mempunyai kerabat dekat dengan hewan reptil purba, CrocodileSaurus yaitu nenek moyang buaya yang mempunyai panjang hampir 30 meter. Namun karena pengaruh alam, tubuh CrocodileSaurus menyusut hingga menjadi buaya muara. Buaya muara dapat ditemukan mulai dari Teluk Benggala (India, Sri Langka, dan Bangladesh) hingga Kepulauan Fiji. Indonesia menjadi habitat terfavorit bagi buaya muara selain Australia.
Belangkas
Hewan mirip kepiting ini adalah hewan jenis artopoda yang hidup di perairan dangkal dan kawasan mangrove. Kadang disebut juga dengan nama kepiting ladam, mimi, atau mintuna. Mimi adalah nama dalam bahasa Jawa untuk yang berkelamin jantan dan Mintuna adalah untuk yang berkelamin betina. Hewan ini merupakan salah satu hewan purba yang tidak mengalami perubahan bentuk berarti sejak masa Devon (400-250 juta tahun yang lalu) dibandingkan dengan bentuknya yang sekarang, meskipun jenisnya tidak sama. Bentuk hewan ini berbentuk seperti ladam kuda berekor. Meski bentuknya menyeramkan, daging dan telur belangkas bisa dijadikan makanan. Namun perlu berhati-hati karena ada bagian tubuhnya yang mengandung racun. Belangkas bisa ditemukan di perairan laut Asia Tenggara dan Amerika Utara. Di Indonesia, jenis belangkas yang ditemukan adalah Tachypleus gigas, Tachypleus tridentatus dan Carcinoscorpius rotundicauda. Jenis T. gigas banyak dijumpai di perairan estuaria hampir merata diseluruh perairan Indonesia.
Trenggiling
Trenggiling atau Pangolin termasuk salah satu hewan purba, beberapa fosil trenggiling sudah ditemukan pada masa Oligosen dan Miosen. Hewan ini memakan serangga dan terutama semut dan rayap. Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik besar yang tersusun membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri. Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Trenggiling hidup di hutan hujan tropis dataran rendah. Trenggiling dapat ditemukan di Asia Tenggara. Trenggiling yang ada di Indonesia dikenal dengan nama Trenggiling Jawa (Manis Javanica) dijumpai di daerah pegunungan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa serta Bali. Walaupun tampak seperti reptil, hewan ini tergolong mamalia. Sekarang di Indonesia sendiri hewan ini termasuk hewan yang dilindungi. Di Provinsi Jambi populasi trenggiling masih cukup banyak ditemui.
Indonesia sebenarnya sungguh menakjubkan karena di wilayah ini kita masih bisa menemukan beragam hewan purba yang unik. Populasi mereka sudah sangat sedikit dan harus dilindungi kelestariannya. Jangan sampai hewan-hewan purba ini punah seperti hewan-hewan purba lainnya yang telah punah jutaan tahun yang lalu.
Friday, January 20, 2012
Sunday, January 8, 2012
Kalender tradisional Indonesia
Beberapa waktu lalu, kita merayakan tahun baru masehi yang berdasarkan penanggalan waktu yang dibuat oleh bangsa Romawi. Sebenarnya kita sendiri juga memiliki kalender tradisional atau sistem penanggalan tradisional yang dipakai beberapa daerah di Indonesia.
Berikut kalender tradisional Indonesia tersebut:
Kalender Jawa
Kalender Jawa merupakan kalender yang dibuat dengan penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Sistem kalender jawa diprakasai oleh Sultan Agung Mataram Pada tahun 1625 Masehi. Penanggalan ini dulu berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten. Dalam Kalender Jawa Sultan Agungan, nama-nama bulan mengadopsi dari nama bulan pada kalender Hijriyah sehingga ada kesesuaian dengan kondisi masyarakat Jawa Islam pada waktu itu. Kalender Jawa dalam satu tahun terbagi menjadi 12 bulan. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, Besar. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu dan Minggu. Dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.
Kalender Sunda
Kalender Sunda merupakan salah satu kalender tertua di Nusantara. Kalender Sunda ini sudah memulai perhitungan sejak tahun 122 Masehi. Penentuan tanggalnya berdasarkan kala edar bulan dan matahari. Seperti kalender pada umumnya, sistem penanggalan Sunda pun terdiri dari 12 bulan. Awal bulan Kalender Sunda, Kartika dan bulan ke-12 disebut Asuji, dengan urutan Kalender Sunda, terdiri dari: Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Dalam satu bulan jumlah hari dalam kalender Sunda ada yang berjumlah 29 hari dan 30 hari. Pada kalender sunda ada pembagian bulan menjadi suklapaksa dan kresnapaksa sehingga tidak ada tanggal 16. Sementara dalam seminggu ada 7 hari, yaitu Radite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat), dan Tumpek (Sabtu). Dalam sewindu ada tiga tahun kabisat. Setiap 120 tahun, satu hari dihilangkan.
Kalender Bali
Kalender Bali merupakan kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen lokal Bali. Kalender Bali digunakan oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan dimana pergantian tahun adalah pada tahun baru Saka yaitu tanggal satu Waisakha atau penanggal ping pisan sasih kadasa. Nama-nama bulan pada kalender Bali, yaitu: Kadasa, Jiyestha, Sadha, Kasa, Karo, Ketiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, dan Kasanga. Satu minggu terdiri dari tujuh hari dimana pergantian minggu dimulai pada Redite (Minggu) dengan nama-nama hari : Redite, Coma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, Saniscara.
Kalender Bugis
Pada masa sebelum Tahun 1520 masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan memiliki penanggalan dan nama-nama bulan sendiri. Istilah Nama Bulan dalam kalender Bugis, yaitu: Naagai, Palagunai, Bisaakai, Jettoi, Sarawanai, Pe'dawaranai, Sujiwi, Pacciekai, Pociyai, Mangasierai, Mangase'tiwi dan Mangalompai. Nama-nama hari dalam satu Minggu : aha', seneng, selasa, raba'/arabang, kammisi, juma' dan sattu. Orang Bugis juga memiliki sistem kalender yang khas yang disebut kotika Bilangeng duappulo, yang mengacu pada siklus dua puluh hari. Kotika atau kalender tradisional ini sering dipakai oleh para sepuh suku bugis untuk menentukan waktu, hari atau arah yang baik atau buruk. Misalnya, memberi petunjuk tentang waktu yang baik memulai mengerjakan sawah, mendirikan rumah, dan sebagainya. Dalam Kutika Bilangeng Duappulo disebutkan 20 nama hari yaitu sebagai berikut : Pong, Pang, Lumawa, Wajing, Wunga Wunga, Telettuq, Anga, Webbo, Wagé, Ceppa, Tulé, Aiéng, Beruku, Panirong, Maua, Dettia, Soma, Lakkaraq, Jepati, dan Tumpakale.
Kalender Batak Karo
Orang Batak Karo juga mempunyai kalender tradisional yang disebut Porhalaan atau Kalender Batak Karo. Porhalaan didasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi, satu tahun terdiri atas 12 bulan, masing-masing 30 hari sehingga keseluruhan hari berjumlah 360 hari. Nama-nama bulan dinamakan dengan nama binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan. Adapun nama-nama bulan adalah sebagai berikut: Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing, Bulan Sipaka dua merupakan bulan lampu, Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing), Bulan Sipaka empat merupakan bulan katak, Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau), Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang), Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu, Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambak (kolam), Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting), Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup), Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu dan Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan nurung (ikan). Hari pertama setiap bulan jatuh pada bulan mati dan hari kelima belas adalah bulan purnama. Pada kalender Batak tidak pernah diketahui angka tahun karena memang tidak pernah dihitung. Kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang baik yang disebut panjujuron ari.
Selain sistem penanggalan tersebut, beberapa daerah juga memiliki sistem penanggalan lainnya. Sayangnya masih belum ada sumber tertulis yang jelas. Sudah saatnya ada yang mulai mempelajari sistem penanggalan warisan nenek moyang kita itu.
Berikut kalender tradisional Indonesia tersebut:
Kalender Jawa
Kalender Jawa merupakan kalender yang dibuat dengan penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Sistem kalender jawa diprakasai oleh Sultan Agung Mataram Pada tahun 1625 Masehi. Penanggalan ini dulu berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten. Dalam Kalender Jawa Sultan Agungan, nama-nama bulan mengadopsi dari nama bulan pada kalender Hijriyah sehingga ada kesesuaian dengan kondisi masyarakat Jawa Islam pada waktu itu. Kalender Jawa dalam satu tahun terbagi menjadi 12 bulan. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, Besar. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu dan Minggu. Dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.
Kalender Sunda
Kalender Sunda merupakan salah satu kalender tertua di Nusantara. Kalender Sunda ini sudah memulai perhitungan sejak tahun 122 Masehi. Penentuan tanggalnya berdasarkan kala edar bulan dan matahari. Seperti kalender pada umumnya, sistem penanggalan Sunda pun terdiri dari 12 bulan. Awal bulan Kalender Sunda, Kartika dan bulan ke-12 disebut Asuji, dengan urutan Kalender Sunda, terdiri dari: Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Dalam satu bulan jumlah hari dalam kalender Sunda ada yang berjumlah 29 hari dan 30 hari. Pada kalender sunda ada pembagian bulan menjadi suklapaksa dan kresnapaksa sehingga tidak ada tanggal 16. Sementara dalam seminggu ada 7 hari, yaitu Radite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat), dan Tumpek (Sabtu). Dalam sewindu ada tiga tahun kabisat. Setiap 120 tahun, satu hari dihilangkan.
Kalender Bali
Kalender Bali merupakan kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen lokal Bali. Kalender Bali digunakan oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan dimana pergantian tahun adalah pada tahun baru Saka yaitu tanggal satu Waisakha atau penanggal ping pisan sasih kadasa. Nama-nama bulan pada kalender Bali, yaitu: Kadasa, Jiyestha, Sadha, Kasa, Karo, Ketiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, dan Kasanga. Satu minggu terdiri dari tujuh hari dimana pergantian minggu dimulai pada Redite (Minggu) dengan nama-nama hari : Redite, Coma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, Saniscara.
Kalender Bugis
Pada masa sebelum Tahun 1520 masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan memiliki penanggalan dan nama-nama bulan sendiri. Istilah Nama Bulan dalam kalender Bugis, yaitu: Naagai, Palagunai, Bisaakai, Jettoi, Sarawanai, Pe'dawaranai, Sujiwi, Pacciekai, Pociyai, Mangasierai, Mangase'tiwi dan Mangalompai. Nama-nama hari dalam satu Minggu : aha', seneng, selasa, raba'/arabang, kammisi, juma' dan sattu. Orang Bugis juga memiliki sistem kalender yang khas yang disebut kotika Bilangeng duappulo, yang mengacu pada siklus dua puluh hari. Kotika atau kalender tradisional ini sering dipakai oleh para sepuh suku bugis untuk menentukan waktu, hari atau arah yang baik atau buruk. Misalnya, memberi petunjuk tentang waktu yang baik memulai mengerjakan sawah, mendirikan rumah, dan sebagainya. Dalam Kutika Bilangeng Duappulo disebutkan 20 nama hari yaitu sebagai berikut : Pong, Pang, Lumawa, Wajing, Wunga Wunga, Telettuq, Anga, Webbo, Wagé, Ceppa, Tulé, Aiéng, Beruku, Panirong, Maua, Dettia, Soma, Lakkaraq, Jepati, dan Tumpakale.
Kalender Batak Karo
Orang Batak Karo juga mempunyai kalender tradisional yang disebut Porhalaan atau Kalender Batak Karo. Porhalaan didasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi, satu tahun terdiri atas 12 bulan, masing-masing 30 hari sehingga keseluruhan hari berjumlah 360 hari. Nama-nama bulan dinamakan dengan nama binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan. Adapun nama-nama bulan adalah sebagai berikut: Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing, Bulan Sipaka dua merupakan bulan lampu, Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing), Bulan Sipaka empat merupakan bulan katak, Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau), Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang), Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu, Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambak (kolam), Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting), Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup), Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu dan Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan nurung (ikan). Hari pertama setiap bulan jatuh pada bulan mati dan hari kelima belas adalah bulan purnama. Pada kalender Batak tidak pernah diketahui angka tahun karena memang tidak pernah dihitung. Kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang baik yang disebut panjujuron ari.
Selain sistem penanggalan tersebut, beberapa daerah juga memiliki sistem penanggalan lainnya. Sayangnya masih belum ada sumber tertulis yang jelas. Sudah saatnya ada yang mulai mempelajari sistem penanggalan warisan nenek moyang kita itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)